Jumat, 09 Desember 2011

tugas bahasa indonesia SABTU besok 2


Desember 30th, 2008 by agnez
Desahan angin malam masuk ke dalam sukmaku. Membawa angan serta diriku menari bersamanya. Lampu beralaskan bintang terus bersinar indah seperti mengisyaratkan kedipan yang cantik ke arahku. Sungguh indah malam ini. Mimpi yang dibalut kecerahan sangat kudamba disaat sekarang.
Tiba-tiba saja keramaian bayang itu semakin kabur, meninggalkan bercak keheningan pada malam yang semakin pekat. Aku terbangun. Semua terlihat samar-samar pada mulanya. Kujelikan lagi pandanganku. Sebuah kamar yang terang dengan empat lampunya membuatku ingat di mana sekarang berada.
Seorang bocah tertidur pulas diatas ranjang yang bersih. Ia tampak tenang walaupun, dalam rautnya terlihat jelas akan kesakitan yang dihadapinya. Sudah hampir 24 jam aku menantinya sadar namun, belum sedikit pun ia membuka matanya.
Aku memandangnya dengan hati yang pilu. Merasa bahwa diri ini tak pantas menjadi seorang kakak, apalagi seorang pelindung baginya. Dinginnya angin malam seakan kembali mengingatkanku akan semua hal yang telah terlewati. Jiwaku terus menelusuri jejak masa lampau yang telah usang. Mengais berkas mimpi yang pernah terangkai.
Malam yang gelap menekanku amat dalam kala itu, seperti telah menandakan akan sesuatu yang tragis.
Aku kembali pada bayangan yang telah lampau. Bayangan tentang Ibu yang terkulai lemas tanpa asa untuk hidup. Aku sangat sedih jika mengingat kenyataan ini. Mengetahui fakta bahwa Ibu tak sanggup lagi menjalani kehidupannya. Aku mendekapnya dengan begitu erat, seakan tak ingin berpisah darinya.
“Ibu. Ibu, bersabarlah dalam menghadapi semua cobaan ini. Aku yakin Ibu bisa melewatinya dan kembali seperti sedia kala,” ujarku pada Ibu. Ia tersenyum sedih sembari menatapku lekat.
“Kau anak yang kuat, Dinda. Bahkan, saat kau mengetahui jati dirimu kau tak pernah menganggapku sebagai orang lain dalam hidupmu, bahkan tidak juga pada Rega. Aku tak tahu, apa aku pantas kau tangisi, Nak,” ujarnya dengan raut yang sendu.
“Ibu tak boleh berkata begitu. Aku ini anakmu, Bu. Kau yang berjuang begitu keras untuk membesarkanku. Kaulah satu-satunya orang yang mempercayaiku di saat tak ada rasa percaya lagi dalam diriku. Kaulah penunjuk arahku, Bu. Aku tak tahu lagi bagaimana nantinya hidupku dan Rega berlanjut tanpamu.”
Ibu mengangguk pelan. Aku tahu kata-kataku hanya akan menambah beban lagi dalam benaknya. Namun, aku ingin Ibu tahu bahwa ia tak sendiri di dunia ini, masih ada anak-anaknya yang selalu sayang padanya. Masih ada aku dan Rega.
“Dinda, Ibu mohon padamu untuk menjadi kakak yang baik bagi adikmu, Rega. Ibu tahu, perasaannya belum bisa menerima secara utuh kehadiranmu sebagai kakaknya setelah apa yang ia tahu mengenai dirimu yang sebenarnya. Ini semua salah Ibu, Ibu tak berterus terang padanya sejak awal mengenai kakaknya. Namun, Ibu berharap kau bisa sayang padanya seperti kau sayang pada saudara kandungmu sendiri. Maafkan Ibu karena telah membebanimu begitu berat di usia remajamu ini. Maafkan Ibu karena tak bisa berbuat banyak untuk kalian dalam kondisi seperti ini. Hanya kaulah yang Ibu percaya untuk menjaga adikmu. Jadilah pembimbing yang baik bagi adikmu. Berjanjilah demi Ibu, Dinda.”
Aku mengusap titikkan airmata yang menetes dari pelupuk mataku, seraya mengangguk dengan yakin dan berkata parau, ”Ya Bu, aku janji.”
Angin kencang berdesir menembus tubuh kakuku, meninggalkan diriku yang berdiri terpatung sendiri. Hembusannya mereda dan di saat itulah aku sadari bahwa Ibu juga telah pergi bersama angin yang berlalu.
Aku terisak begitu lama sehingga tak kenal waktu lagi. Entah ini bodoh apa tidak. Entah apa kata orang tentangku, aku tak peduli lagi. Hati ini terlanjur hancur, jiwa ini sakit. Aku tak tahu bagaimana lagi cara mengungkapkan dalam batin ini jika, aku teramat sedih. Aku juga tak tahu bagaimana menghilangkan perasaan kacau yang kudera saat saat ini.
Kenyataan memang begitu pahit. Kehilangan sosok ibu yang membimbingku semenjak kecil hingga menjadi seorang remaja seperti ini begitu membekas pada relung jiwaku. Walaupun ku tahu, kehilangan orang yang kusayang bukan berarti kehilangan seluruh jiwa dan ragaku. Aku paham apapun yang terjadi, aku tak boleh terlarut terlalu lama di dalamnya.
Sesak diri ini terlalu lama terpatri dalam hati, hingga ku tak tahu lagi bagaimana harus bersikap menjadi kakak bagi adikku yang mulai tumbuh dewasa. Mungkin saja ia sering menganggapku orang yang munafik karena, bersikap begitu baik padanya. Apalagi, jika mengingat-ingat masa lampau. Tak pernah aku menggubrisnya sedikit pun. Di kala sedih aku tak ada di sampingnya, di kala senang aku juga tak ada bersamanya. Namun, kini semua telah berubah. Aku harus mulai menata diri untuk menjadi seseorang yang pantas menjaga dan membimbingnya seperti kala Ibu dahulu. Mungkin perubahan sikapku inilah yang membuatnya terasa menjauh dariku. Tak mengacuhkanku bahkan tidak pula menganggapku sebagai pendampingnya saat ini.
Aku masih menatapnya dalam. Ia sangat mirip dengan Ibu. Wajah polosnya sungguh tak pantas untuk menghadang dunia yang berkelit dengannya. Entah mengapa aku tak pernah membencinya akan semua sikapnya selama ini padaku.
Bayangan akan lukisan masa lalu tercipta lagi dalam benakku. Padahal, aku telah berusaha cukup keras agar tak pernah lagi mengaisnya. Entah mengapa kenangan itu terputar lagi untuk kedua kalinya, tanpa kukehendaki.
Aku melihatnya bersembunyi takut di balik dinding yang kokoh itu, bagai bayi yang melihat takut pada dunia barunya. Ia dengan baju hitam yang membalut tubuh kecilnya tak sedikit pun berhenti terisak sepanjang hari itu. Ia terus menatap ke arah gundukan tanah yang baru saja dibangun, sembari sesekali melirikku lirih.
Aku tahu yang dirasanya saat itu sama dengan yang kurasa. Deritanya dan kesedihannya , sama seperti yang kurasa. Namun, mungkin saja pemahaman akan arti penderitaan di antara kami yang berbeda. Aku telah tumbuh menjadi remaja kala itu sedang ia, masih terlalu kecil untuk melihat saat-saat pahit seperti ini. Mungkin, luka pada hatinya lebih parah daripada diriku.
Ada satu hal yang membuat kami tak sama layaknya keluarga yang lain. Satu masalah yang takkan pernah terselesaikan di antara kami bahkan, tidak pula setelah Ibu telah tiada. Aku dan dia adalah saudara layaknya kakak dan adik. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah, aku tak pernah sedarah dengannya. Aku tak lain hanyalah sebatas anak angkat. Itulah yang membuatnya agak canggung denganku terlebih-lebih, saat ia tahu itu setelah 6 tahun hidup bersamaku dengan akrab layaknya  dua saudara yang tak pernah terpisahkan. Saat ia megetahui semua kebohongan yang telah rapi terangkai, rasa kecewa yang begitu mendalam telah mengiris perasaannya, menyisakan bekas luka di hatinya. Entah sampai kapan.
Malam semakin menyala dengan bulannya yang tak berhenti padam seakan tak ingin tergantikan dengan yang lain. Adikku masih terkulai lemah di atas ranjang. Infus dan semua obat-obatannya membuatku meringis. Aku tak tahan dengan penderitaan. Namun, aku juga tak mampu untuk menghentikannya.
Aku berjalan menuju jendela. Melihat kota dari gedung yang tinggi dengan lirih. Pikiranku melayang lagi pada masa lampau.Kupejamkan mata untuk melihat dan merasakan letak detak jantungku, tempat di mana aku merasa dan memahami semuanya. Aku menitikkan airmata. Entah mengapa, kesesakan yang kupendam amat perih kurasa. Apalagi, jika mengingat-ingat kejadian yang baru saja terjadi. Saat aku dan adikku bercekcok pada hari sebelumnya dan di saat aku tahu tentang kecelakaan tragis yang hampir merenggut nyawanya.
Saat subuh menjelang kulihat Rega dengan wajah yang pucat dan tubuh yang berbau menyengat. Aku sungguh tak tahan melihatnya begitu berantakan. Hampir setiap hari kutegur ia agar merubah sikapnya yang sedemikina buruk. Kali ini aku benar-benar tak tahan lagi.
“Darimana saja dirimu? Apa aku tak sadar, jam berapa ini?” tanyaku dengan sedikit berteriak. Ia mengerling ke arahku. Pandangannya menjurus seperti hendak menikamku akan tetapi, aku tak sedikit pun berpaling darinya.
“Apa pedulimu padaku?” tanyanya merancau. Aku tahu ini karena pengaruh alkohol yang berbau busuk itu.
“Kau benar-benar kacau, Rega! Lihat dirimu!. Bagaimana bisa kau menjadi seperti itu?! Pasti ini semua karena pergaulanmu yang rusak itu.” Ia masih memandangku tajam.
“Jangan salahkan siapapun! Ini semua salahmu! Salahkan saja dirimu sendiri!” ujarnya berkelit. Hatiku bertambah panas mendengar ucapannya.
“Ya, terus saja menyalahkanku! Aku tak tahu lagi bagaimana cara membimbingmu! Ibu pasti sangat kecewa melihatmu begini,” ujarku seraya meninggalkan Rega yang masih menjerit tak jelas.
“Terus saja kau membuat alasan yang sama! Terus saja Ibu! Ibu! Kau yang salah! Kau membuatku muak! Aku benci kau!” teriaknya dengan jelas. Aku menitikkan airmata mendengarnya. Hatiku sudah sangat sakit menghadapinya.
“Enyahlah kau!” balasku pada akhirnya.
Setelah beberapa saat berlalu, aku mendengar suara pintu yang berdebam keras dan bunyi motor yang meraung-raung. Rega telah pergi dari rumah ini,  itu memberi sedikit ketenangan bagiku namun, entah mengapa juga mebuatku gelisah. Tak kusangka pertemuan dengannya kala itu adalah pertemuanku yang terakhir sebelum kecelakaan tragis itu mendatanginya.
Aku menyesal dengan apa yang telah kuucapkan saat terakhir bertemu dengannya. ‘Enyahlah kau’, kenapa aku harus berkata demikian? Kenapa aku tak mengalah saja kala itu? Pastilah semua ini tak perlu terjadi. Menyesalinya sungguh perbuatan yang sia-sia karena, semua telah terjadi. Aku tahu itu. Mungkin, apa yang terjadi pada adikku adalah suratan takdir yang memang harus ia tempuh.
Terkadang, aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku bukan kakak yang baik? Apa yang belum kuperbuat untuk adikku? Apa aku belum cukup berkorban untuknya? Apa aku ini terlalu egois? Atau apa aku juga harus mengorbankan jiwa ini untuknya? Namun, aku tahu tak ada gunanya meratapi semua kegundahan hatiku ini. Aku hanya ingin Rega sadar betapa pentingnya ia bagiku. Aku hanya ingin ia mengerti bahwa, ia tak sendiri di dunia ini. Ia masih memilikiku sebagai pembimbing hidupnya. Mungkin aku hanya bisa berharap, suatu saat nanti ia akan kembali padaku dan memanggiku ‘kakak’seperti sedia kala.
Suatu malam saat aku pulang kerja, aku melihat sepeda motor yang tak asing lagi bagiku terparkir di sebuah pub malam. Aku tahu adikku ada di sana. Aku tak pernah mempunyai nyali untuk memarahinya karena aku tak mau membuatnya tertekan dan menyakitinya. Aku sangat sayang padanya hingga tak tahu lagi bagaimana cara untuk menegurnya. Namun, ia selalu menganggapku sebagai orang lain bahkan, sebagai orang yang tak ia anggap sama sekali layaknya sampah. Aku menantinya hingga keluar dari tempat itu dan datang menghampirinya. Keadaannya sangat berantakan bahkan, ia juga seperti setengah sadar.
“Rega, ayo pulang. Lihatlah dirimu, betapa kacaunya kau!” ujarku.
“Memangnya apa peduliku? Kau pulang saja sana!. Aku tak peduli apa yang terjadi padaku dan pada dirimu. Kau mau menangis bahkan mati pun aku tak peduli padamu!” Aku menitikkan airmata mendengar ucapannya.
“Dik..”
“Jangan memanggilku seperti itu! Itu membuatku jijik! Aku tak pernah menganggapmu sebagai kakakku. Sejak kapan kau menjadi kakakku? Kau hanya sok baik agar Ibu lebih bersimpati padamu, kan? Kukira dulu Ibu sangat sayang padamu karena, kau adalah anak pertama namun, ternyata Ibu sayang padamu karena, kau kau memang suka mencari simpati di hadapannya. Aku muak dengan semua itu! Seharusnya kau tak pernah ada dalam hidupku! Kau telah merebut Ibu dariku! Aku sangat membencimu!”
Plak!! Sebuah tamparan kudaratkan pada wajahnya yang memerah. Aku gemetar setelah itu. Aku benar-benar takut. Aku sangat kacau saat itu.
“Kau..?” tanyanya pelan tak percaya. Aku memantapkan hatiku dan menata jalan pikiranku lagi.
“Rega, Kakak tak tahu lagi apa yang  harus kulakukan padamu. Maaf,” ucapanku terputus. Aku berlari meninggalkan Rega yang berdiri terpatung. Aku tak sanggup menahan diri untuk tak mengucapkan ‘maaf’ namun, aku tahu aku tak boleh lemah dihadapannya.
Saat ini malam menjadi semakin larut, membawaku pada keadaan yang telah terjadi. Aku tak peduli seberapa banyak ia menyakitiku, ia tetaplah adikku yang tak boleh kubenci.
Aku menatap wajah pucatnya yang masih terbaring lemah tak berdaya. Coba saja ia sehalus saat ini, pastilah aku tak perlu meyakiti perasaannya dan perasaanku.
“Kak,” suara pelan dan lemah keluar dari bibir Rega.
“Kau sudah sadar, Dik?” Ia berusaha mengangguk namun, tak begitu sanggup untuk melakukannya.
“Kak, maafkan aku. Aku memang bukan adik yang baik untukmu. Maafkan aku karena, telah membuatmu menangis sepanjang malam. Aku memang benar-benar tak tahu diri. Kau begitu menyayangiku dengan setulus hati tapi, aku tak pernah mau mengerti itu semua. Aku hanya bisa menyusahkanmu saja. Maafkan aku, Kak.” Suaranya memang terdengar amat pelan namun, aku tahu ia sangat bersungguh-sungguh.
“Lupakan saja semuanya, Dik. Aku tak peduli seberapa kacau dirimu, tapi kau selalu akan menjadi adikku. Aku sudah sangat senang jika kau memanggilku dengan sebutan kakak. Itu yang kuinginkan selama ini darimu,” ujarku sembari tersedu.
Perasaan kacau yang menderaku berberapa minggu belakangan ini serasa menghilang. Aku yakin Ibu pasti tersenyum di atas sana saat melihat kami begitu akrab seperti saat ini.
“Jadi, kau mau menjadi kakakku lagi?”
“Tentu saja, Rega. Aku akan selalu menjadi kakakmu. Selamanya.” Ia tersenyum kecil.
“Terima kasih, Kak.”
Angin berhembus pelan menerpa wajahku. Menandakan suatu permulaan dari kubu yang hancur. Aku dan adikku. Kami akan saling memilki, bahkan di saat tak ada siapapun di sekitar kami atau saat kami harus pergi dan berpisah.
Aku tahu semua akan berakhir bahagia, bahkan saat aku belum mengetahui awalnya saja, aku tahu bahwa semua akan kembali seperti semula.
“Kakak aku sangat menyayangimu, berjanjilah kita takkan pernah menyakiti.”
“Ya, aku janji.”
http://www.kolomkita.com/2008/12/30/kasih-yang-sesungguhnya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar